-->

Minggu, 21 Desember 2014

katamu kau akan merindukanku

Harus kutaruh mana namamu, jika "kita" kini hanya gundukan pasir dan desir ombak yang pernah kita datangi saat langit mulai menyembunyikan matahari dan menyisakan merah padam.
Dengan merah itu katamu kau akan merindukanku dengan rindu yang kedalamannya mampu membuat napasmu tak lagi berisi udara.

HNS

Sabtu, 24 Agustus 2013

Sajak Malam Untuk Mata Bidadari


Cerpen Hamidun Nafi’ Syifauddin

seperlabuhan Matahari kau diam
barangkali pikirmu adalah kapas diterpa badai
jangan mimpimu terlalu khayal
sebab tak tentu darat untukmu berlabuh
jangan kau lukis terlalu indah itu yang dalam angan
seperlabuhan Bulan kau cepatlah terpejam

Melantunkan sajak itu, yang kembali terlintas adalah mata indah dari balik jendela malam itu. Rambutnya terurai di bahu. Duduk di sampingnya adalah seorang lelaki penuh renjana. Lelaki itu berdiri untuk menutup jendela. Hanya sesaat, jendela itu kembali terbuka. Siapa lagi yang membuka kalau bukan gadis itu.
Aku duduk di bawah Trembesi seberang jalan. Jaraknya hanya beberapa langkah dari jendela itu. Dari bawah Trembesi ini bisa kugambarkan dengan jelas bagaimana raut muka lelaki itu; raut muka yang menyimpan renjana yang kian memuncak. Dia berdiri. Menatap gadis lembut itu dengan tatap mata kasar. Tangannya mengayuh jendela. Jendela kembali tertutup. Tak  ada apa-apa selain gelap.
Benang merah dalam hidupnya telah dimulai. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain membiarkan mata tertutup dengan sedirinya. Kemudian mimpi-mimpi buruk datang silih berganti.

Kamis, 20 Desember 2012

Serabi Kelabu


Cerpen Hamidun Nafi’ Syifauddin
Satu hal yang tak pernah aku lupakan adalah cara mengingatmu. Membawamu dari alam yang telah lalu untuk menyusun kembali gerak tubuhmu dalam imajinasiku. Menyusun kembali senyummu dalam kelopak mataku. Atau sekadar menjelmakan angin menjadi suaramu.
Satu hal lain yang tak pernah berhasil aku pelajari adalah cara melupakanmu. Menghapus segala yang telah terekam menjadi ruang hitam hampa. Atau ruang putih tanpa pangkal ujung, sehingga siapapun yang melihat tak akan mampu mendefinisikan apapun.
Beringin di ujung kampung itu menjadi satu bagian yang tak mampu kuhapuskan. Kicau burung perenjak meliuk panjang menyatu dengan sapuan angin. Getarannya mengisyaratkan kedamaian alam dengan segala romantikanya. Di dahan paling rendah itu tanganmu bergelayutan sambil memetik beberapa daun. Daun yang secara umur belum pantas pisah dari pohonnya. Dan ketika angin datang, telapak tanganmu menengadah. Sekejap daun yang kau remas hambur bersama angin.

Tentang Sebuah Makam di Bawah Pohon Mangga

Cerpen Hamidun Nafi' Syifauddin

DI belakang rumah itu, Emak selalu bercerita. Di bawah pohon mangga yang dulu pernah berjaya. Berbuah luar biasa banyaknya, dengan ukuran yang membuat mulut sedikit menganga sambil mengecapkan lidah dan menelan ludah.
Sepanjang musim mangga tiba, anak-anak tetangga selalu bergembira. Mereka akan makan mangga. Begitu yang Eyang lakukan waktu emakku masih kecil—membagi-bagikan mangga yang sudah masak.
Tak satu pun buah mangga yang kata orang-orang laku mahal itu membuat Eyang terbujuk untuk menjualnya kepada tengkulak. Tak sedikit pula tengkulak menawarkan banyak uang, tapi oleh Eyang hanya dikasih dua buah lalu uangnya dikembalikan.
Kalau pagi datang, para tetangga silih berganti menyirami pohon mangga dengan air bekas cucian ikan. Biar buahnya tambah manis, katanya. Bahkan sampai sekarang, saat Emak sudah hampir seusia Eyang dulu, para tetangga masih setia menyirami pohon mangga. Kau kenapa tak mau berbuah lagi, katanya.

Tentang Suamimu yang Tidak Kukenal


Cerpen Hamidun Nafi' Syifauddin

Ada yang memanggilku dari gubuk itu setiap pagi. Kadang suara anak kecil, kadang suara perempuan. Aku tak yakin ini adalah kali pertama aku berkunjung. Tapi aku tak dapat mengingat apakah aku benar-benar penah ke sana.

Pagi itu kau diam. Ketika aku berharap tahu siapa nama ayah gadis kecil yang selalu bersembunyi di balik punggungmu, bergelayutan di lenganmu, kemudian lari ke balik pintu ketika aku menemukannya.

Kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku yakin betul. Kau memperlihatkan logat tak wajar. Kau nampak gugup ketika aku mendekati foto pernikahanmu.
Pun berbagai kisah tentang meja itu. Meja yang kini hanya ada pot bunga kecil yang merindukan asbak rokok. Sepertinya di situ tempatmu dulu merangkai malam. Sampai kemudian suara kecil memercik dari dalam kamar membubarkan kalian. Itu suara gadis kecilmu yang kehausan. Suara gadis kecilmu yang mimpi dikejar-kejar binatang jahat.